Al-Azhar didirikan oleh seorang panglima Dinasti Fathimiyah, Jauhar
Al-Katib Al-Siqli pada tahun 970 M, atas perintah Khalifah Al-Muiz Lidinillah,
sebagai tempat ibadah (masjid), tempat
mengembangkan ajaran-ajaran Syi’ah dan lambang kepemimpinan spiritual umat
Islam. Sebelumnya, masjid Al-Azhar bernama masjid Al-Qahirah atau Al-Jami’al-Qahirah,
dan sekarang dikenal dengan Al-Azhar. Pembangunan dimulai pada
tanggal 4 April 970 M/24 Jumadil Ula 359 H dan selesai pada tanggal 7 Ramadhan
361 H/22 Juni 972 M, sekaligus diresmikan sebagai tempat pelaksanaan ibadah.
Peresmian itu ditandai dengan pelaksanaan salat Jumat bersama.
Tidak dapat diketahui
dengan jelas, perubahan nama dari masjid Al-Qahirah
menjadi masjid Al-Azhar. Sebagian
para ahli, misalnya Saniyah Qura’ah berpendapat bahwa penamaan tersebut berawal
dari usulan Ya’kub Ibnu Killis, seorang wazir Khalifah al-Aziz Billah. Penamaan
yang diusulkan dinisbatkan dengan nama
istana Khalifah al-Qhusur Al-Zahirah,
atau dikaitkan dengan nama putri Nabi Muhammad Fatimah Al-Zahra. Ada pendapat
lain yang mengatakan bahwa penamaan tersebut dikaitkan dengan nama sebuah
planet (Venus) yang memiliki cahaya cemerlang. Selain itu, Al-Azhar dinisbahkan
kepada bunga, yang kemudian menjadi simbol dari ‘kemegahan’ peradaban muslim
KairoApapun latar belakang penamaan tersebut, yang
jelas menggambarkan harapan para pendirinya agar Masjid Al-Azhar membawa cahaya terang dan kejayaan umat Islam
yang dapat menyinari dunia. Harapan itu dapat disaksikan dalam perjalanan
sejarah masjid ini, fungsinya terus digandakan, tidak lagi hanya sebagai tempat
ibadah dan propaganda ajaran Syi’ah, tetapi berfungsi juga sebagai Madrasah
Tinggi di Kairo, Mesir.
Setelah Al-Azhar resmi
menjadi masjid Negara, kegiatan ilmiah pertama kali dilakukan dengan
berkumpulnya para ulama, terdiri dari para fuqaha terkenal dan pejabat
pemerintahan Fathimiyah di Al-Azhar untuk mendengarkan ceramah umum (Studium Generalle) dari Abu al-Hasan Nu’man Ibnu Muhammad
Al-Qirawaniy sebagai Qadi
al-Qudat (Hakim Agung) Dinasti
Fathimiyah), terjadi pada bulan Oktober 975 M/ Shafar 365 H.
C. AL-AZHAR
PADA MASA PEMERINTAHAN DINASTI AL-AYYUBIYAH
|
Al-Hakim Mosque
.wikipedia.org
|
Desain
Arsitektur Al-Azhar
Masjid ini memiliki pelataran
besar berbentuk persegi panjang, dikelilingi rangkaian portico.
Seperti Masjid Umayyah di Damaskus, tiang-tiang kolom masjid ini
memanfaatkan kolom-kolom kuno untuk menunjang arcade (atap lori). Arcade
tersebut memiliki banyak lengkungan.
Gaya dekoratifnya sebagian
besar mengikuti gaya Masjid Ibn Tulun. Pola ornamentasinya mengikuti gaya
Mesopotamia yang dibawa ke Mesir oleh Ibn Tulun.
Pelataran masjid berukuran 50
kali 34 meter, terdapat empat fasade
dihiasi dekorasi bermotif daun dan hiasan rosette besar
diletakkan di puncak arcade yang mengelilingi pelataran. Terdapat
balkon lapang untuk memandang ke
segala arah.
Hall di bagian dalam dengan
lima lajur menghadap ke arah kiblat. Ruangannya menerapkan pola hypostyle
dengan langit-langit kayu datar yang ditopang oleh kolom-kolom,mirip dengan
gaya Masjid Amr di Kairouan.
|
Meski ada larangan untuk
tidak menggunakan Al-Azhar sebagai pusat kegiatan madrasah, masjid
tersebut tidak sepenuhnya ditinggalkan
oleh murid-murid dan guru-guru, karena hanya sebagian dari mereka yang
meninggalkan al-Azhar. Pada masa
pemerintahan Sultan Malikul Aziz Imadudin Usman, putra Shalahudin Yusuf
al-Ayyubi, tepatnya tahun 1193 M/589 H datang seorang ulama bernama Abdul Latif al-Bagdadi dan mengajar
di Al-Azhar selama Sultan al-Malikul Aziz berkuasa. Materi yang diajarkan al-Baghdadi dimeliputi mantiq dan bayan.
Kedatangan al- Baghdadi menambah
semangat beberapa ulama yang masih menetap di al-Azhar, di antara mereka adalah
Ibn al-Farid, ahli sufi terkenal, Syeikh Abu al-Qosim al-Manfaluti, Syeikh Jama
al-Din al- Asyuyuti, Syeikh Shahabu al-Din al-Sahruri, dan Syams al-Din Ibn
Khalikan, seorang ahli sejarah yang mengarang kitab wafiyyat al-‘Ayan.
Selain mengajar mantiq dan bayan, al- Baghdadi mengajar hadits dan fiqh. Materi-materi itu diajarkan kapada para muridnya di pagi hari, sementara dari siang hingga sore hari mengajar kedokteran dan ilmu-ilmu lainnya. Ini merupakan upaya al- Baghdadi untuk memberikan informasi, sekaligus mensosialisasikan mazhab Sunni kepada masyarakat Mesir
Selama masa pemerintahan dinasti Ayyubiyah di Mesir (1171-1250 M), perkembangan aliran atau mazhab Sunni sangat pesat, termasuk model dan sistem pendidikan yang dikembangkan berorientasi Sunni. Maka dalam perjalanan sejarahnya, di masa Dinasti Ayyubiah, Al-Azhar menjadi masjid, lembaga pendidikan, sekaligus pusat pengembangan ajaran-ajaran Sunni.
Selain mengajar mantiq dan bayan, al- Baghdadi mengajar hadits dan fiqh. Materi-materi itu diajarkan kapada para muridnya di pagi hari, sementara dari siang hingga sore hari mengajar kedokteran dan ilmu-ilmu lainnya. Ini merupakan upaya al- Baghdadi untuk memberikan informasi, sekaligus mensosialisasikan mazhab Sunni kepada masyarakat Mesir
Selama masa pemerintahan dinasti Ayyubiyah di Mesir (1171-1250 M), perkembangan aliran atau mazhab Sunni sangat pesat, termasuk model dan sistem pendidikan yang dikembangkan berorientasi Sunni. Maka dalam perjalanan sejarahnya, di masa Dinasti Ayyubiah, Al-Azhar menjadi masjid, lembaga pendidikan, sekaligus pusat pengembangan ajaran-ajaran Sunni.
Para penguasa dinasti Ayyubiyah,
sebagai penguasa yang setia kepada pemerintahan khalifah Abbasiyah di Baghdad,
maka orientasi kebijaksanaan pemerintahannya adalah sebagaimana Baghdad,
bermadzhab Sunni. Oleh karena itu, salah
satu lembaga strategis yang dapat diandalkan sebagai tempat pembelajaran,
penyebaran dan pengembangan
ajaran-ajaran mazhab Suni adalah Al-Azhar.
ILMUWAN/ULAMA MUSLIM PADA MASA
AYYUBIAH
|
1.
As-Suhrawardi
al-Maqtul
Nama
lengkapnya Abu Al-Futuh Yahya bin Habash bin Amirak Shihab al-Din as-Suhrawardi
al-Kurdi, lahir pada tahun 549 H/ 1153
M di Suhraward, sebuah kampung di kawasan Jibal, Iran Barat Laut dekat Zanjan.
Ia memiliki banyak gelar diantaranya, Shaikh al-Ishraq, Master of Illuminationist,
al-Hakim, ash-Shahid, the Martyr, dan al-Maqtul.
Suhrawardi
melakukan banyak perjalanan untuk menuntut ilmu. Ia pergi ke Maragha, bdi
kawasan Azerbaijan. Di kota ini, Suhrawardi belajar filsafat, hukum dan teologi
kepada Majd Al-Din Al-Jili. Juga memperdalam filsafat kepada Fakhr
al-Din al-Mardini. Selanjutnya ke Isfahan, Iran Tengah dan belajar
logika kepada Zahir Al-Din Al-Qari. Juga mempelajari logika dari buku al-Basa’ir al-Nasiriyyah karya Umar ibn
Sahlan Al-Sawi. Dari Isfahan dilanjutkan ke Anatolia Tenggara dan diterima
dengan baik oleh pangeran Bani Saljuq. Setelah itu pengembaraan Suhrawardi
berlanjut ke Persia, pusat lahirnya tokoh-tokoh sufi. Di sini Suhrawardi
tertarik seorang sufi sekaligus filosof.
a.
Ajaran Tarekat Suhrawardi
Dalam kitab Awarif al-Ma’arif dibahas
tentang latihan rohani praktis, terdiri dari:
1) Ma’rifah, yaitu mengenal Allah melalui sifat-sifat Allah, bahwa
Allah saja-lah Wujud Hakiki dan Pelaku Mutlak.
2) Faqr, yaitu tidak memiliki harta; seorang penempuh jalan
hakikat tidak akan sampai ke tujuan, kecuali jila sudah melewati tahap
ke-zuhud-an.
3) Tawakkul, yaitu mempercayakan segala urusan kepada Pelaku
Mutlak (Allah).
4) Mahabbah, artinya
Cinta kepada Allah.
5) Fana’ dan Baqa’; Fana’ artinya akhir dari perjalanan menuju Allah,
sementara Baqa’ artinya awal dari perjalanan dalam Allah.
b.
Pemikiran Teosofis Suhrawardi
Pemikiran
teosofi Suhrawardi disebut konsep cahaya
(iluminasi, ishraqiyyah) yang lahir
sebagai perpaduan antara rasio dan intuisi. Istilah ishraqi sendiri sebagai simbol geografis mengandung makna timur
sebagai dunia cahaya. Proses iluminasi
cahaya-cahaya Suhrawardi dapat
diilustrasikan sebagai berikut: dimulai dari Nur al-Anwar yang merupakan sumber
dari segala cahaya yang ada. Ia Maha Sempurna, Mandiri, Esa, sehingga tidak ada
satupun yang menyerupai-Nya. Ia adalah Allah. Nur Al-Anwar ini hanya memancarkan sebuah cahaya yang disebut Nur
Al-Aqrab. Selain Nur Al-Aqrab tidak
ada lainnya yang muncul bersamaan dengan cahaya terdekat. Dari Nur Al-Aqrab (cahaya pertama) muncul
cahaya kedua, dari cahaya kedua muncul cahaya ketiga, dari cahaya ketiga timbul
cahaya keempat, dari cahaya keempat timbul cahaya kelima, dari cahaya kelima timbul
cahaya keenam, begitu seterusnya hingga mencapai cahaya yang jumlahnya sangat
banyak.
Pada setiap
tingkat penyinaran setiap cahaya menerima pancaran langsung dari Nur Al-Anwar, dan tiap-tiap cahaya
dominator meneruskan cahayanya ke masing-masing cahaya yang berada di bawahnya,
sehingga setiap cahaya yang berada di bawah selalu menerima pancaran dari Nur Al-Anwar secara langsung dan
pancaran dari semua cahaya yang berada di atasnya sejumlah pancaran yang
dimiliki oleh cahaya tersebut. Dengan demikian, semakin bertambah ke bawah
tingkat suatu cahaya maka semakin banyak pula ia menerima pancaran.
Karya-karya
Suhrawardi diantaranya: kitab At-Talwihat
al-Lauhiyyat al-‘Arshiyyat, Al-Muqawamat, dan Hikmah al-‘Ishraq yang
membahas aliran paripatetik; Al-Lamahat, Hayakil al-Nur, dan Risalah fi
al-‘Ishraq yang membahas filsafat
yang disusun secara singkat dengan bahasa yang mudah dipahami; Qissah al-Ghurbah al Gharbiyyah, Al-‘Aql
al-Ahmar, dan Yauman ma’a Jama’at al-Sufiyyin’ ulasan penjelasan sufistik menggunakan
lambang yang sulit dipahami dan, Risalah al-Tair dan Risalah fi al-‘Ishq
terjemahan dari filsafat klasik, dan Al-Waridat
wa al-Taqdisat berisi serangkaian do’a, dan lain-lain.
2.
Ibn Al-Adhim (588-660 H/ 1192-
1262 M)
gemuruhsepi.blogspot.com
|
Kemudian menjadi Qadhi di Allepo pada
zaman Amir Al- Aziz dan Al-Nashir dari dinasti Ayubiyah di Allepo, dan
menjadi dubes kedua penguasa ini di Baghdad dan Kairo.
Karya-karya Al-Adhim diantaranya, Zubdah al hallab min tarikh Hallaba, Bughyah
at Thalib fi Tharikh Halaba, tentang sejarah Allepo / Halaba yang
disusun secara alfabetik terdiri dari 40
juz atau 10 jilid.
Al-Adhim, melarikan diri ke Kairo hingga
wafat, ketika tentara Mongol menguasai halaba/ Allepo pada tahun 658 H / 1160
M.
3.
Al-Bushiri
Nama lengkapnya Sarafuddin Abu Abdillah Muhammad bin Abdullah
as Shanhaji al Bushiri, lahir pada tahun
1212 M di Maroko. Al-Bushiri seorang sufi besar, pengikut Thariqat Syadziliyah, dan menjadi salah satu murid Sulthonul Auliya
Syeikh Abul Hasan Asy-Syadzily, r.a.
Gurunya yang lain beberapa ulama tasawuf seperti Abu Hayyan, Abu Fath
bin Ya’mari dan Al ‘Iz bin Jama’ah al Kanani Al Hamawi.
Sejak masa kanak-kanak, dididik olek
ayahnya sendiri dalam mempelajati Al-Qur’an untuk memperdalam ilmu agama dan
kesusastraan Arab.
Al-Bushiri dikenal sebagai orang
yang wara’ (takut dosa). Pernah suatu
ketika ia akan diangkat menjadi pegawai pemerintahan kerajaan Mesir, akan
tetapi melihat perilaku pegawai kerajaan membuatnya menolak.
Al-Bushiri lebih menonjol dalam bidang sasra dengan
hasil karyanya yang terkenal yaitu Kasidah
Burdah yang diciptakannya pada abad 7 Hijrah dan dibaca dalam berbagai
acara. Kasidah Burdah adalah mutiara syair kecintaan kepada Rasulullah. Puisi Pujian Al-Bushiri kepada Nabi tidak
terbatas pada sifat dan kualitas pribadi Nabi, tetapi mengungkap kelebihan Nabi
yang utama yaitu mukjizat Al-Quran.
Beberapa ulama sufi yang menjadi
guru Al-Bushiri, diantaranya, terutama pada bidang Imam Abu Hayyan, Abul Fath
bin Sayyidunnas Al-Ya’mari Al Asybali Al Misri
pengarang kitab ‘Uyunul Atsar fi
Sirah Sayyidil Basyar, Al ‘Iz bin
Jama’ah Al Kanani Al Hamawi salah seorang hakim di Mesir, dan masih banyak
lagi kalangan ulama besar Mesir yang memberikan ilmu pengetahuannya kepada
Al-Bushiri.
Al Bushiri sebenamya tak hanya,
terkenal dengan karya Burdahnya saja. la juga dikenal sebagai seorang ahli
fikih, ilmu kalam dan ahli tasawuf.
4.
Abdul Latief Al Baghdadi
Seorang ulama berpengaruh yang
menginspirasi ulama-ulama Al-Azhar lainnya, ahli ilmu mantiq, bayan, Hadist, fiqh, ilmu kedokteran, dan ilmu-ilmu
lainya, sekaligus sebagai tokoh berpengaruh dalam pengembangan dan penyebaran
madzhab Sunni di Mesir.
5.
Abu Abdullah Al Quda’i
Ahli fiqih, hadis dan sejarah, beberapa
karyanya adalah Asy Syihab (Bintang),
Sanadus Sihah (Perawi Hadis-Hadis
Sahih), Manaqib al Imam Asy Syafi’i
(Budi Pekerti Imam Syafi’i), Anba’ Al
Anbiya’ (Cerita Para Nabi), ‘Uyun al
Ma‘arif (Mata Air Ilmu Pengetahuan), Al
Mukhtar fiz Zikir al Khutat wa Al Asar (Buku Sejarah Mesir).
6.
Abu Abdullah
Muhammad Al-Idrisi
Seorang ahli geografi dan juga ahli botani yang
mencatat penelitiannya dalam buku Kitab
Al-Jami’ li Asytat an-Nabat (Kitab kumpulan dan Tanaman).
7.
Ad-Dawudi
Seorang ahli botani,
pengarang kitab Nuzhah an-Nufus wa
al- Afkar Ma’rifah wa al-Ahjar wa al-Asyjar (kitab komprehensif tentang Identifikasi
Tanaman, Bebatuan, dan Pepohonan).
8.
Syeikh Syams al-Din Ibn Khalikan
Seorang ahli sejarah yang mengarang
kitab wafiyyat al-‘Ayan
9.
Syeikh Abu al-Qosim al-Manfaluti
Seorang
ahli fiqih.
10.
Al Hufi, ahli bahasa,
11.
Abu Abdullah Muhammad bin Barakat,
Seorang
ahli Nahwu dan ahli tafsir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar