Dinasti Bani Umayyah yang dirintis oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan bin Harb bin Umayyah, pada tahun 41 H/661 M.
A.
KERUNTUHAN DINASTI BANI UMAYYAH
|
Dinasti Umayyah berjaya kurang
lebih 90 tahun,
Diantara
beberapa peristiwa yang mendorong kemunduran Bani Umayyah sebagai berikut:
(a) Figur Khalifah yang lemah. Sepeninggal Khalifah Hisyam, tidak ada khalifah yang
kuat.
(b) Tidak adanya
ketentuan mekanisme pengangkatan khalifah,
(c) Pemindahan
ibu kota dari Madinah ke Damaskus
(d) Para ulama
merasa kecewa terhadap para penguasa
(e)
Pertentangan keras antara suku Arab Utara dan selatan
(f)
Ketidakpuasan sejumlah pemeluk Islam non Arab
(g)
Munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan al-Abbas Ibn
Abd. Al-Muthalib.
Dinasti Bani Umayyah dan menjadi awal berdirinya Dinasti Bani
Abbasiyah mulai tahun 750 M -1258
M.
B.
PROSES BERDIRINYA DINASTI
ABBASIYAH
|
Keruntuhan
Dinasti Bani Umayyah pada tahun 750 M, menjadi tonggak awal berdirinya
kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah. Khalifah pertama dari Dinasti ini adalah
Abdullah As- Saffah bin Muhammad bin Ali Bin Abdulah bin Abbas bin Abdul
Muthalib. Dinamakan Dinasti Bani Abbasiyah karena para pendiri dan khalifah
dinasti ini adalah keturunan Al-Abbas ibn Abdul Muthalib, paman Nabi Muhammad
saw. Masa kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah berlangsung dalam rentang waktu yang
panjang, dari tahun 132 H /750 M s/d 656 H /1258 M.
Dinasti
Umayyah selama kurang lebih 90 tahun telah berhasil membawa kejayaan dunia
Islam mulai dari Asia Barat, Asia Tengah, Asia Selatan, Afrika Utara hingga ke
Eropa, maka di bawah kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah dunia Islam juga
mengalami masa-masa kejayaan, terutama dalam bidang peradaban dan kebudayaan
Islam sehingga kota Baghdad dikenal sebagai pusat peradaban dunia. Untuk lebih jelas,
uraiannya sebagai berikut.
1.Proses Pembentukan Dinasti Bani Abbasiyah
Abu al-Abbas al-Saffah
Sumber : http://medievalhistoryfacebook.wikispaces.com
|
Para
keluarga Abbas di kota-kota ini melakukan berbagai strategi dan persiapan,
salah satunya dengan melakukan gerakan propaganda bahwa orang-orang
Abbasiyah lebih berhak dari pada Bani Umayyah atas kekhalifahan Islam, karena mereka adalah
keturunan Bani Hasyim yang secara nasab keturunan lebih dekat dengan Nabi SAW. Pemimpin gerakan ini adalah Al-Imam Muhammad bin
Ali, salah seorang keluarga Abbasiyah yang tinggal di Humaymah. Muhammad bin Ali tidak menonjolkan
nama Bani Abbas, melainkan menggunakan nama Bani Hasyim untuk menghindari
perpecahan dengan kelompok Syi’ah. Strateginya berhasil menggabungkan berbagai
kekuatan, antara pendukung fanatik Ali bin Abi Thalib dengan kelompok-kelompok
lain.
Untuk
melakukan berbagai kegiatan propaganda, diangkatlah 12 propagandis yang
tersebar di berbagai wilayah, seperti di Khurasan, Kufah, Irak dan Makkah.
Diantara propagandis yang terkenal adalah Abu Muslim Al-Khurasani, seorang
tokoh masyarakat di Khurasan yang merasa dirugikan selama masa pemerintahan
Dinasti Bani Umayyah. Isu ketidakadilan yang dilontarkannya mendapat banyak
sambutan dari berbagai kelompok yang tidak senang dengan pemerintahan Bani
Umayyah. Para perwakilan kelompok menyatakan kesetiaan kepada Abu Muslim
Al-Khurasani untuk membela Bani Hasyim dan Bani Abbas.
Gerakan dan
propaganda yang dimotori oleh Muhammad bin Ali dengan dibantu 12 propagandisnya
terus mendapat sambutan yang luar biasa dan tanggapan positif dari masyarakat,
begitu juga dari golongan mawali. Pada tahun 743 M, Muhammad bin Ali meninggal
dan gerakannya dilanjutnya oleh putranya yang bernama Ibrahim Al-Imam. Ibrahim
Al-Imam menunjuk Abu Muslim Al-Khurasani sebagai panglima perangnya, mengingat
kemampuan Abu Muslim Al-Khurasani sangat ahli dalam menarik simpati masyarakat
dan berbagai kelompok. Pernah dalam waktu satu hari berhasil mengumpulkan penduduk dari sekitar 60
desa di Merv. Abu Muslim Al-Khurasani mengajak kelompok yang kecewa kepada Bani
Umayah untuk mengembalikan kekhalifahan kepada Bani Hasyim, baik dari keturunan
Abbas bin Muthalib maupun dari keturunan Ali bin Abi Thalib.
Setelah Ibrahim Al-Imam meninggal, gerakan dilanjutkan oleh saudaranya yang
bernama Abdullah bin Muhammad yang lebih terkenal dengan nama Abul Abbas
As-Saffah, yang juga mempercayai dan mengangkat Abu Muslim Al-Khurasani sebagai
panglima perang. Gabungan kekuatan antara Abul Abbas As-Saffah dengan Abu
Muslim Al-Khurasani menjadi sebuah kekuatan besar yang sangat ditakuti Bani Umayyah.
Akhirnya, dinasti yang berkuasa
selama kurang lebih 90 tahun dan
telah berhasil mengukir kejayaan dunia Islam mulai dari Asia Barat, Asia
Tengah, Asia Selatan, Afrika Utara hingga ke Eropa,
mengalami kekalahan total dalam pertempuran. Khalifah Marwan
II bersama 120.000 tentaranya yang berusaha mempertahankan dinastinya dengan
menyebrangi sungai Tigris menuju Zab Hulu atau Zab Besar berhasil dikalahkan
oleh gerakan kelompok Bani Hasyim dibawah komando Abul Abbas As-Saffah dan Abu
Muslim Al-Khurasani. Khalifah Marwan II tewas dalam pertempuran di Busir, wilayah Al- Fayyum, tahun 132 H/750 M.
Maka kematian Khalifah Marwan menjadi akhir dari runtuhnya Dinasti Bani Umayyah
sekaligus menjadi awal berdirinya Dinasti Bani Abbasiyah dipimpin oleh khalifah
pertamanya, yaitu Abbul Abbas As- Shaffah dengan pusat kekuasaan awalnya di
Kufah.
2. Abul
Abas
as-Ssaffah, Tokoh Pendiri
Nama lengkap Abul Abas As-Saffah adalah Abdullah bin Muhammad bin Ali bin
Abdullah bin Abbas, dilahirkan di Hamimah pada tahun 104 H. Ibunya bernama
Rabtah binti Abaidullah Al-Haritsi dan ayahnya adalah Muhammad bin Ali,
pemimpin adalah gerakan Abbasiyah. Abdullah bin Muhammad mendapat gelar
As-Saffah, yang berarti pengalir darah dan pengancam siapa saja yang
membangkang. Maksudnya adalah pengancam dan mengalirkan darah bagi pihak yang
menentang.
Abul Abbas adalah seorang yang bermoral tinggi dan mempunyai loyalitas
sehingga beliau disegani dan dihormati oleh kerabat-kerabatnya. Beliau memiliki
pengetahuan yang luas, pemalu, budi pekerti yang baik dan dermawan. Menurut as-Sayuti, Abul Abbas
As-Saffah ialah manusia yang paling sopan dan selalu menepati janji tepat pada
waktunya. Pada tanggal 3 Rabiul Awal 132 H dibaiat menjadi khalifah pertama
Dinasti Bani Abbasiyah dan berpusat di Kuffah. Dua tahun kemudian pada tahun
134 H, meninggalkan Kufah menuju daerah Anbar (kota Kuno di Persia), dan
menjadikannya pusat pemerintahan.
Semasa pemerintahannya, Abul Abbas
tidak banyak melakukan perluasan wilayah, tetapi lebih melakukan konsolidasi internal untuk menguatkan
pilar-pilar negara. Abul Abbas menjadi
khalifah selama 4 tahun 9 bulan, dan wafat dalam usia 33 tahun di kota dikota
Anbar, pada bulan Zulhijah tahun 136
H/753M.
C. SILSILAH KHALIFAH DINASTI ABBASIYAH
|
Abu al-Abbas as-Saffah,
Sang Pendiri Dinasti Abbasiyah
Sumber : http://medievalhistoryfacebook.wikispaces.com
|
Dari Bani Abbas :
1. Abul Abbas As-Saffah (133-137 H/750-754 M)
2. Abu Ja’far Al-Mansur (137-159 H/754-775 M)
3. Al-Mahdi (159-169 H/775-785 M)
4. Musa Al-Hadi (169-170 H/785-786 M)
5. Harun Ar-Rasyid (170-194 H/786-809 M)
6. Al-Amin (194-198 H/809-813 M)
7. Al-Makmun(198-318 H/813-933 M)
8. Al-Mu’tasim (833-845 M)
9. Al-Watiq (223-228 H/842-847 M)
10. Al-Mutawakkil (233-297 H/847-861 M)
11. Al-Muntashir
Billah (tahun 247-248 H/861-862 M)
12. Al-Musta’in
Billah (tahun 248-252 H/862-866 M
13. Al-Mu’taz
Billah (tahun 252-256 H/866-869 M)
14. Al-Muhtadi
Billah (tahun 256-257 H/869-870 M)
15. Al-Mu’tamad
‘Ala al-Allah (tahun 257-279 H/870-892 M)
16. Al-Mu’tadla
Billah (tahun 279-290 H/892-902 M)
17. Al-Muktafi
Billah (tahun 290-296 H/902-908 M)
18. Al-Muqtadir
Billah (tahun 296-320 H/908-932 M)
Dari Bani Buwaihi:
19. Al-Qahir
Billah (tahun 320-323 H/932-934 M)
20. Al-Radli
Billah (tahun 323-329 H/934-940 M)
21. Al-Muttaqi
Lillah (tahun 329-333 H/940-944 M)
22. Al-Musaktafi
al-Allah (tahun 333-335 H/944-946 M)
23. Al-Muthi’
Lillah (tahun 335-364 H/946-974 M)
24. Al-Thai’i Lillah
(tahun 364-381 H/974-991 M)
25. Al-Qadir
Billah (tahun 381-423 H/991-1031 M)
26. Al-Qa’im Bi
Amrillah (tahun 423-468 H/1031-1075 M)
Dari Bani Saljuk :
27. Al Mu’tadi
Biamrillah (tahun 468-487 H/1075-1094 M)
28. Al
Mustadhhir Billah (tahun 487-512 H/1094-1118 M)
29. Al Mustarsyid
Billah (tahun 512-530 H/1118-1135 M)
30. Al-Rasyid
Billah (tahun 530-531 H/1135-1136 M)
31. Al Muqtafi
Liamrillah (tahun 531-555 H/1136-1160)
32. Al Mustanjid
Billah (tahun 555-566 H/1160-1170 M)
33. Al
Mustadhi’u Biamrillah (tahun 566-576 H/1170-1180 M)
34. An Naashir
Liddiinillah (tahun 576-622 H/1180-1225 M)
35. Adh Dhahir
Biamrillah (tahun 622-623 H/1225-1226 M)
36. Al Mustanshir
Billah (tahun 623-640 H/1226-1242 M)
37. Al Mu’tashim
Billah ( tahun 640-656 H/1242-1258 M).
Menurut para sejarawan, masa pemerintahan
Dinasti Abbasiyah dibagi menjadi 4 (empat) periode, yaitu:
1. Masa Abbasiyah 1, yaitu semenjak
lahirnya Daulah Abbasiyah tahun 132 H/750 M sampai wafatnya Khaliffah Al-
Wastiq 232 H/ 847 M, sering disebut periode
pengaruh Persia pertama.
2. Masa Abbasiyah II, yaitu mulai Khaliffah Al- Mutawakkil pada tahun 232
H/ 847 M sampai berdirinya Daulah Buwaihiyah di Baghdad pada tahun 334 H/946 M,
disebut masa pengaruh Turki pertama.
3. Masa Abbasiyah III, yaitu dari berdirinya Daulah
Buwahiyah tahun 334 H/946 M sampai masuknya kaum Saljuk ke Baghdad pada tahun
447 H/1055 M.Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
4. Masa Abbasiyah IV, yaitu masuknya orang-orang Saljuk
ke Baghdad pada tahun 447 H/1055 M sampai jatuhnya kota Baghdad ke tangan bangsa
Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan pada tahun 656 H/1258 M.disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua.
Serangan bangsa Mongol yang dipimpin
Hulagu terjadi pada masa kepemimpinan al-Mu‘tashim Billah pada tahun 656 H.
Dalam peperanga yang berlangsung selama 40 hari
Khalifah Al-Mu’tashim terbunuh. Akibat serangan ini, dunia muslim tidak
memiliki khalifah selama kurang lebih tiga setengah tahun.
Sampai kemudian didirikanlah
kekhilafahan di Mesir. Al-Muntanshir-lah yang diangkat sebagai khalifah pertama
Bani Abbasiyah di Mesir. Dia adalah
keturunan Bani Abbasiyah, yang berhasil lolos dalam peperangan dengan
bangsa Mongol dan berhasil menyelamatkan
diri ke Mesir. Sejak saat itu, pusat kekuasaan Islam berpindah ke Kairo.
Al-Muntanshir dilantik sebagai khalifah
berlangsung pada tanggal 1 Rajab 659 H.
Para
Khalifah masa Abbasiyah yang berpusat di Mesir :
1. Al Mustanshir billah II (taun 660-661 H/1261-1262 M)
2. Al Haakim Biamrillah I ( tahun 661-701 H/1262-1302 M)
3. Al Mustakfi Billah I (tahun 701-732 H/1302-1334 M)
4. Al Watsiq Billah I (tahun 732-742 H/1334-1354 M)
5. Al Haakim Biamrillah II (tahun 742-753 H/1343-1354 M)
6. al Mu’tadlid Billah I (tahun 753-763 H/1354-1364 M)
7. Al Mutawakkil ‘Alallah I (tahun 763-785 H/1363-1386 M)
8. Al Watsir Billah II (tahun 785-788 H/1386-1389 M)
9. Al Mu’tashim (tahun 788-791 H/1389-1392 M)
10. Al Mutawakkil ‘Alallah II (tahun 791-808 H/1392-14-9 M)
11. Al Musta’in Billah (tahun 808-815 H/ 1409-1426 M)
12. Al Mu’tadlid Billah II (tahun 815-845 H/1416-1446 M)
13. Al Mustakfi Billah II (tahun 845-854 H/1446-1455 M)
14. Al Qa’im Biamrillah (tahun 754-859 H/1455-1460 M)
15. Al Mustanjid Billah (tahun 859-884 H/1460-1485 M)
16. Al Mutawakkil ‘Alallah (tahun 884-893 H/1485-1494 M)
17. al Mutamasik Billah (tahun 893-914 H/1494-1515 M)
18. Al Mutawakkil ‘Alallah OV (tahun 914-918 H/1515-1517 M).
Masa
kepemimpinan Bani Abbasiyah yang perpusat di Mesir berakhir pada tahun 918 H, ketika khalifah
Abbasiyah terakhir, Al-Mutawakkil ‘Alallah (III) turun tahta dan menyerahkan kekuasaan kepada
Sultan Salim
(kekhalifahan Utsmani di Turki).
D. KHALIFAH-KHALIFAH BESAR DINASTI
ABBASIYAH
|
Dari 37
khalifah Dinasti bani Abbasiyah, terdapat beberapa orang khalifah yang
terkenal, di antaranya Abu Ja’far Al-Mansur, Harun Ar-Rasyid dan Al-Makmun. Pada masa pemerintahan ketiganya merupakan masa-masa
keemasan peradaban Islam. Para khalifah agung tersebut dikenal sebagai penguasa adil dan bijaksana serta memiliki perhatian dan kecintaan yang kuat
terhadap ilmu pengetahuan. Dukungan dan kegigihan mereka dalam
pengembangan ilmu pengetahuan dan pengembangan perdaban Islam tercermin dalam
berbagai kebijakan pemerintahannya. Untuk mengetahui lebih jelas, bacalah
uraian berikut.
1.
Khalifah Abu Ja’far Al-Mansur (136-158 H/754-775 M),
Pendiri Kota Baghdad
a.
Biografi Singkat Al-Mansur.
Patung Abu Ja’far
al-Mansur di Baghdad
Sumber: www.republika.co.id
|
Ia dinobatkan sebagai putera
mahkota oleh kakaknya, Abul Abbas As-Saffah. Selanjutnya, ketika As-Saffah
meninggal, Al-Mansur dilantik menjadi khalifah, saat itu usianya 36 tahun.
Al-Mansurseorang khalifah yang tegas,
bijaksana, alim, berpikiran maju, baik
budi, dan pemberani. Ia tampil dengan
gagah berani dan cerdik menyelesaikan berbagai persoalan yang tengah melanda pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Al-Mansur juga sangat mencintai ilmu
pengetahuan. Kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan menjadi pilar bagi
pengembangan peradaban Islam di masanya.
Setelah menjalankan pemerintahan selama 22 tahun lebih, pada tanggal 7 Zulhijjah tahun 158 H/775 M,
al-Mansur wafat dalam perjalanan ke Makkah untuk menunaikan ibadah Haji, di
suatu tempat bernama “Bikru Maunah”
dalam usia 57 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Makkah.
b. Kebijakan
Khalifah Al-Mansur dalam Pemerintahan
Setelah dilantik menjadi khalifah
pada 136 H/754 M, Al-Manshur membenahi administrasi pemerintahan dan kebijakanpolitik. Dia menjadikan Wazir sebagai
koordinator departemen. Wazir pertama yang diangkat adalah Khalid bin Barmak, berasal dari Balk,
Persia. Al-Mansur juga membentuk lembaga protokoler negara, sekretaris negara, dan kepolisian
negara disamping membenahi angkatan bersenjata. Dia menunjuk Muhammad ibn Abd
Al-Rahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah
ada sejak masa dinasti Bani Umayyah ditingkatkan peranannya untuk menghimpun
seluruh informasi dari daerah-daerah, sehingga administrasi kenegaraan berjalan
dengan lancar sekaligus menjadi pusat informasi khalifah untuk mengontrol para
gubernurnya
Untuk
memperluas jaringan politik, Al-Mansur menaklukkan kembali daerah-daerah yang
melepaskan diri, dan menertibkan keamanan di daerah perbatasan. Di antara usaha-usaha tersebut
adalah merebut benteng-benteng di Asia, kota Malatia, wilayah Cappadocia, dan
Cicilia pada tahun 756-758 M. Ke utara bala tentaranya melintasi pegunungan
Taurus dan mendekati selat Bosporus.
Selain itu, Al-Mansur membangun
hubungan diplomatik dengan wilayah-wilayah di luar jazirah Arabia. Dia membuat perjanjian damai dengan kaisar Constantine V dan mengadakan genjatan
senjata antara tahun 758-765 M. Khalifah Al-Manshur juga mengadakan penyebaran dakwah Islam ke Byzantium dan berhasil menjadikan kerajaan Bizantium membayar upeti tahunan kepada Dinasti Abbasiyah. Juga mengadakan kerjasama dengan Raja Pepin dari Prancis. Saat itu,
kekuasaan Bani Umayyah II di Andalusia dipimpin oleh Abdurrahman Ad-Dakhil.
Al-Mansur juga berhasil menaklukan
daerah Afrika Utara itu pada tahun 144 H, meski kadang kota Kairawan silih
berganti bertukar wali. Kadang di kuasai oleh bangsa Arab, di lain waktu jatuh
ke tangan Barbar lagi. Baru pada tahun 155 H barulah kota itu dikuasai penuh
oleh Daulat Abbasiyah.
c. Mendirikan Kota Baghdad
Pada
masa awal pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah, yakni di masa Abul Abbas
As-Saffah, pusat pemerintahan Dinasti bani Abbasiyah di kota Anbar, sebuah kota
kuno di Persia sebelah Timur Sungai Eufrat. Istananya diberi nama Hasyimiyah,
dinisbahkan kepada sang kakek, Hasyim bin Abdi Manaf.
Pada masa Al-Mansur, pusat
pemerintahan dipindahkan lagi ke Kufah, dan mendirikan istana baru dengan nama
Hasyimiyah II. Selanjutnya, untuk lebih memantapkan dan
menjaga stabilitas negara Al-Mansur
mencari daerah strategis untuk menjadi ibu kota negara. Pilihan jatuh
pada daerah yang sekarang dinamakan Baghdad, terletak di tepian sungai Tigris dan Eufrat.
Sejak zaman Persia Kuno, kota ini sudah menjadi pusat perdagangan yang
dikunjungi para saudagar dari berbagai penjuru dunia, termasuk para pedagang
dari Cina dan India. Ada juga cerita rakyat bahwa daerah ini sebelumnya adalah tempat peristirahatan
Kisra Anusyirwan, Raja Persia yang termasyhur. Baghdad berarti “taman keadilan”. Taman itu lenyap bersama
hancurnya kerajaan Persia dani namanya
tetap menjadi kenangan rakyat.
Dalam
membangun kota ini, khalifah mempekerjakan ahli bangunan yang terdiri dari
arsitektur-arsitektur, tukang batu, tukang kayu, ahli lukis, ahli pahat, dan
lain-lain yang didatangkan dari Syria, Mosul, Basrah, dan Kufah yang berjumlah
sekitar 100.000 orang. Kota ini berbentuk bundar. Di sekelilingnya dibangun
dinding tembok yang besar dan tinggi. Di sebelah luar dinding tembok, digali
parit besar yang berfungsi sebagai saluran air sekaligus benteng.
Ada empat buah pintu gerbang di
seputar kota ini, disediakan untuk setiap orang yang ingin memasuki kota.
Keempat pintu gerbang itu adalah Bab al-Kufah, terletak di sebelah Barat Daya, Bab al -Syam, terletak di Barat Laut, Bab al-Bashrah, di Tenggara, dan Bab al-Khurasan, di Timur Laut. Diantara
masing-masing pintu gerbang ini, dibangun 28 menara sebagai tempat pengawal
negara bertugas mengawasi keadaan di luar. Di atas setiap pintu gerbang
dibangun tempat peristirahatan yang dihiasi dengan ukiran-ukiran yang indah dan
menyenangkan. Di tengah-tengah kota terletak istana khalifah dengan seni
arsitektur Persia. Istana ini dikenal dengan Al-Qashr al -Zahabi, berarti ‘istana emas’. Istana ini dilengkapi
dengan bangunan masjid, tempat pengawal istana, polisi, dan tempat tinggal
putra-putri dan keluarga khalifah.
Di
sekitar istana dibangun pasar tempat perbelanjaan. Jalan raya menghubungkan
empat pintu gerbang. Sejak awal berdirinya, kota ini sudah menjadi pusat
peradaban dan kebangkitan ilmu pengetahuan dalam Islam. Itulah sebabnya, Philip
K. Hitti, seorang peneliti Sejarah Arab, menyebut Baghdad sebagai kota intelektual. Menurutnya, di
antara kota-kota di dunia, Baghdad merupakan
profesor masyarakat Islam. Bahkan dalan cerita 1001 malam, Baghdad menjadi kota impian.
Al-Mansur
memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru dibangunnya, yaitu Baghdad, tahun
762 M. Baghdad, selanjutnya bukan hanya menjadi pusat pemerintahan yang
strategis, sekaligus juga menjadi pusat kebudayaan dan peradaban.
d. Pengembangan Ilmu Pengetahuan
Al-Mansur
menunjukkan minat dan perhatian yang
besar terhadap pengembangan ilmu pengetahuan. Penyalinan literatur Iran dan
Irak, Grik serta Siryani dilakukan secara besar-besaran. Dia mendorong
usaha-usaha menterjemahkan buku-buku pengetahuan dari kebudayaan asing ke
bahasa Arab, agar dikaji orang-orang Islam.
Perguruan
tinggi ketabiban di Jundishapur yang dibangun oleh Khosru Anushirwan (351-579
M, Kaisar Persia) dihidupkan kembali dengan tenaga-tenaga pengajar dari tabib-tabib
Grik dan Roma yang menjadi tawanan perang.
Al-Mansur juga
mendirikan sebuah perguruan tinggi sebagai gudang pengetahuan diberi nama
“Baitul Hikmah”. Usahanya itu telah menjadikan kota Baghdad sebagai kiblat ilmu
pengetahuan dan peradaban Islam. Ia mengajak banyak ulama dan para ahli dari
berbagai daerah untuk datang dan tinggal di Baghdad. Ia merandorong pembukuan
ilmu agama, seperti fiqh, tafsir, tauhid, Hadits dan ilmu lain seperti bahasa
dan ilmu sastra. Pada masanya lahir juga para pujangga, pengarang dan
penterjemah yang hebat, termasuk Ibnu Muqaffak yang menterjemahkan buku Khalilah dan Dimnah dari bahasa Parsi.
2.
Khalifah Harun Ar-Rasyid (786-809M), Pemimpin Bijaksana dan Peletak Dasar Pemerintahan
Modern
PEREMPUAN BERPENGARUH MASA ABASYIAH
ZUBAIDAH BINTI JA’FAR
Zubaidah binti Ja’far adalah istri Khalifah Harun
Ar-Rasyid dan ibu dari Khalifah Al-Amin. Dia adalah simbol wanita yang
penuh semangat, dan penuh contoh keteladan. Nama aslinya Amatul Aziz binti
Ja’far.
Wanita mulia ini selalu dimanjakan dengan curahan
kasih sayang. Kakeknya Abu Ja’far Al-Mansur dan pamannya Al-Mahdi,
membesarkannya dengan penuh cinta. Kakeknya sangat mengagumi sang cucu, se
hingga memanggilnya “Zubaidah” yang berarti “buih nan jernih”.
Zubaidah adalah seorang wanita yang cerdas,
bijaksana, setia dan penyayang. Pendapatnya selalu dihormati dan dia menjadi
penasehat pribadi Khalifah.
Dia juga wanita yang fasih dan banyak menghafalkan
syair dan gurindam. Dia juga pandai mengubah syair, dan senantiasa bersedia
untuk berdebat dengan kaum lelaki dalam berbagai bidang ilmu dan seni.
Disamping itu, dia juga terkenal sebagai wanita yang cantik rupawan, yang
menyebabkan ia sangat dikasihi oleh Harun Ar-Rasyid serta diletakkannya di
tempat yang tinggi lagi mulia.
|
Khalifah Harun Ar-Rasyid
Sumber
: http://www.dokumenpemudatqn.com
|
Harun Ar-Rasyid menunjukkan
kecakapannya dalam memimpin, sehingga pada tahun 165 H, Al-Mahdi melantiknya
kembali menjadi gubernur untuk kedua kalinya di Saifah.
Khalifah Harun
Ar-Rasyid
Sumber:www.republika.co.id
|
Kepribadian Harun Ar-Rasyid
sangat mulia. Sikapnya tegas, mampu
mengendalikan diri, tidak emosional, sangat peka perasaannya dan toleran. Akhlak mulianya dikemukakan oleh
Abul 'Athahiyah, seorang penyair kenamaan saat itu. Selain itu, Harun Ar-Rasyid
juga dikenal sebagai seorang khalifah yang suka humor. Dia juga terkenal pemimpin yang pemurah dan dermawan. Banyak
sejarawan menyamakannya dengan Khalifah Umar bin Abdul Azis dari
Dinasti Bani Umayyah.Tak
jarang ia juga turun ke
jalan-jalan di kota Baghdad pada malam hari melihat kehidupan sosial yang
sebenarnya pada masyarakatnya, sehingga tak seorang
pun yang kelaparan dan teraniaya tanpa
diketahui oleh Khalifah Harun Ar-Rasyid.
Khalifah Harun
Ar-Rasyid mempunyai perhatian dan minat
yang besar terhadap ilmu pengetahuan dan
kebudayaan. Para ilmuwan dan budayawan dilibatkan dalam setiap pengambilan
kebijakan.Khalifah juga melakukan
penterjemahan besar-besaran berbagai buku-buku ilmu pengetahuan berbahasa asing
ke dalam bahasa Arab. Bahasa Arab menjadi bahasa resmi dan bahasa pengantar di sekolah-sekolah,
perguruan tinggi, dan bahkan menjadi alat komunikasi umum. Karena itu, dianggap
tepat bila semua pengetahuan yang termuat dalam bahasa asing itu segera
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab,
sehingga bisa dikaji dan difahami masyarakat luas.Dewan penerjemah dibentuk diketuai oleh seorang pakar bernama
Yuhana bin Musawih.
Kota Baghdad menjadi mercusuar kota impian 1.001 malam yang tidak ada tandingannya di
dunia pada abad pertengahan. Selain itu,
pada masa kehalifahannya wilayah kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah membentang dari Afrika Utara sampai ke
Hindukush, India. Kekuatan militer yang dimilikinya juga sangat luar biasa.
Pada masa Khalifah
Harun Ar-Rasyid, hidup seorang cerdik pandai yang sering memberikan nasihat-nasihat
kebaikan kepada Khalifah, yaitu Abu Nawas. Nasihat-nasihat kebaikan dari Abu
Nawas disertai dengan gayanya yang lucu, menjadi bagian tak terpisahkan dari
kehidupan Khalifah Harun Ar-Rasyid.
Kebijakan dan
kecakapannya dalam memimpin,
membawa negara dalam situasi aman, damai
dan tenteram, sehingga tingkat kejahatan
sangat minim dan sangat sulit mencari orang yang akan diberikan zakat, infak
dan sedekah, karena tingkat kemakmuran penduduknya merata. Pada masa pemerintahannya Dinasti Bani Abbasiyah mengalami masa kejayaan
dan keemasan sekaligus menjadi salah satu pusat peradaban dunia.
Khalifah Harun
Ar-Rasyid meninggal dunia di Khurasan pada 3 atau 4 Jumadil Tsani 193 H/809 M
setelah menjadi khalifah selama lebih kurang 23 tahun 6 bulan. Saat meninggal
usianya 45 tahun, dan yang menjadi imam shalat jenazahnya adalah anaknya
sendiri yang bernama Shalih.
Dinasti Abbasiyah dan dunia Islam saat itu
benar-benar kehilangan sosok pemimpin yang shalih dan adil, dan b ijaksana.
sehingga tak seorang pun yang teraniaya tanpa diketahui oleh Khalifah Harun
Ar-Rasyid dan mendapatkan perlindungan hukum yang sesuai.
3. Khalifah
Abdullah Al-Makmun(786-833M), Khalifah Pembaharu Ilmu Pengetahuan
Khalifah
Al-Makmun
http://static.republika.co.id
|
Untuk mendalami Hadits, Al-Makmun dan
Al-Amin dikirim ayahnya, Harun
Ar-Rasyid kepada Imam Malik di Madinah. Al-Makmun dan saudaranya belajar kitab Al-Muwattha
karangan Imam Malik. Dalam waktu yang sangat
singkat, Al-Makmuntelah menguasai Ilmu-ilmu kesusateraan, tata Negara, hukum,
hadits, falsafah, astronomi, dan berbagai ilmu pengetahuaan lainnya. Ia juga
hafal Al-Qur’an dan ahli juga menafsirkannya.
Setelah ayah
mereka, khalifah Harun Ar-Rasyid
meninggal, jabatan kekhalifahan sebagaimana wasiat dari Harun Ar-Rasyid
diserahkan kepada saudaranya dan Al-Makmun mendapatkan jabatan sebagai
gubernur di daerah Khurasan. Setelah
Al-Aminmeninggal, Al-Makmun
menggantikannya menjadi Khalifah.
Sebagaimana
ayahnya, Khalifah Harun Ar-Rasyid, Al-Makmun adalah Khalifah Dinasti Bani
Abbasiyyah yang besar dan menonjol. Ia memiliki sifat-sifat yang agung,
diantaranya, tekadnya kuat, penuh kesabaran, menguasai berbagai keilmuan, penuh
ide, cerdik, berwibawa, berani dan toleran. Pada masa kekhalifahannya, Dinasti
Bani Abbasiyah mengalami masa kegemilangan. Beberapa pencapaian kejayaan dan
gemilangan peradaban Islam daantaranya:
a. Bidang pertanian dan Perdagangan
Dengan keamanan terjamin, kegiatan
pertanian berkembang dengan pesat. Pertanian dikembangkan dengan luas.
Buah-buahan dan bunga-bungaan dari Parsi makin meningkat dan terjamin mutunya. Anggur dari
Shiraz, Yed dan Isfahan telah menjadi komoditi penting dalam perdagangan
diseluruh Asia. Tempat-tempat pemberhentian kafilah dagang menjadi ramai dengan
kafilah-kafilah yang datang dan memencar ke berbagai penjuru. Lalu lintas
dagang dengan Tiongkok melalui dataran tinggi Pamir atau yang disebut
dengan Jalan Sutera (Silk Road), dan
Jalur Laut (Sea Routes) dari teluk
Parsi menuju bandar-bandar lainya sangat ramai.
b.Bidang Pendidikan
Perhatian besar terhadap
pengembangan ilmu pengetahuan sebagaimana yang dimulai oleh Khalifah Al-Mansur,
dilanjutkan Khalifah Harun Ar-Rasyid, semakin mendapat puncaknya oleh
Al-Makmun. Ia mendorong dan menyediakan dana besar untuk melakukan gerakan
penerjemahan karya-karya kuno dari Yunani dan Syria ke dalam bahasa Arab,
seperti ilmu kedokteran, astronomi, matematika, filsafat , dan lain-lain. Para
penerjemah yang termasyhur adalah Yahya
bin Abi Manshur, Qusta bin Luqa, Sabian bin Tsabit bin Qura, dan Hunain bin
Ishaq yang digelari Abu Zaid Al-Ibadi. Selain itu, Hunain bin Ishak, ilmuwan Nasrani menerjemahkan buku-buku Plato dan Aristoteles
atas permintaan Al-Makmun. Al-Makmun juga mengirim utusan kepada Raja Roma, Leo
Armenia, untuk mendapatkan karya-karya ilmiah Yunani Kuno yang kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Al-Makmun mengembangkan perpustakaan Bait Al-Hikmah
yang didirikan sang ayah, Khalifah Harun Ar-Rasyid, menjadi pusat ilmu pengetahuan, yang berhasil
melahirkan sederet ilmuwan Muslim yang
melegenda. Selanjutnya dibangun Majlis Munazharah, sebagai pusat kajian agama.
Pada masanya muncul ahli Hadis termasyhur, Imam Bukhori dan sejarawan terkenal,
al-Waqidi.
c.
Perluasan
Daerah Islam dan penertiban Administrasi Negara
Di era kekhalifahan Al-Makmun, Dinasti Abbasiyah menjelma menjadi
negara adikusa yang sangat disegani.
Wilayah kekuasaan dunia Islam terbentang luas mulai dari Pantai Atlantik di
Barat hingga Tembok Besar Cina di Timur. Dalam mengembangkan wilayah kekuasaan
di zaman Al-Makmun, ada beberapa peristiwa besar yang dicapai, diantaranya
penaklukan Pulau Kreta (208 H/ 823 M), dan juga penaklukan Pulau Sicily (212 H/
827 M).
Kemudian pada tahun 829 M, wilayah
Islam mendapat serangan dari Imperium Bizantium (Romawi). Di penghujung tahun 214 H/ 829 M, dengan
pasukan yang besar menyerang kekuasaan
imperium Bizantium , pada tahun 832 M berhasil menduduki wilayah Kilikia dan Lidia.
Tetapi belum seluruhnya menaklukkan Bizantium Al-Makmun mennggal pada tahun 218 H/ 833 M dan perjuangan selanjutnya dilanjutkan oleh
saudaranya, Al-Mu’tashim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar