1. Pendidikan
Pemerintahan dinasti Ayyubiyah terutama pada masa kekuasaan Nuruddin dan
Shalahuddin telah berhasil menjadikan Damaskus sebagai kota pendidikan.
Damaskus, ibu kota Suriah, masih menyimpan bukti yang menunjukkan jejak
arsitektur dan pendidikan yang dikembangkan kedua penguasa tersebut. Nuruddin
tidak hanya merenovasi dinding-dinding pertahanan kota, menambahkan beberapa
pintu gerbang dan menara, serta membangun gedung-gedung pemerintahan yang masih
bisa digunakan hingga kini, tetapi juga
mendirikan madrasah sebagai sekolah
pertama di Damaskus yang difokuskan untuk pengembangan ilmu hadist. Madrasah ini terus berkembang dan menyebar ke
seluruh pelosok Suriah.
Madrasah yang dibangun merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari masjid atau sebagai sekolah masjid. Lembaga
pendidikan ini secara formal menerima murid-murid dan mengikuti model madrasah
yang dikembangkan pada masa Nizhamiyah.
Madrasah yang didirikan Nuruddin di Aleppo (Halb),
Emessa, Hamah dan Ba’labak mengikuti madzhab Syafi’i.
Nuruddin
juga membangun rumah sakit yang terkenal dengan memakai namanya,yaitu Rumah
sakit al-Nuri. Rumah Sakit Al-Nuri
ini, menjadi rumah sakit kedua di Damaskus setelah rumah sakit al-walid dan ditambah fungsinya tidak
hanya sebagai tempat pengobatan, juga sebagai sekolah kedokteran.
Pada
bangunan monumen-monumen, Nuruddin menorehkan seni menulis indah. Prasasti-prasasti yang ditulisnya menjadi daya tarik para ahli paleografi
(ilmu tulisan kuno) Arab. Sejak saat itu diperkirakan seni kaligrafi (khat) Arab gaya Kufi muncul dan berkembang. Kaligrafi gaya Kufi kemudian diperbaharui dan
melahirkan gaya kaligrafi Naskhi.
Salah satu prasasti yang sampai saat ini masih
bisa dilihat dan dibaca terdapat di menara benteng Aleppo. Disebutkan dalam
catatan orang Suriah dan Hittiyah, benteng pertahanan tersebut merupakan
mahakarya arsitektural Arab kuno dan terus ada berkat jasa pemeliharaan dan
renovasi Nuruddin. Di samping itu, makam
Nuruddin, yang terletak di akademi Damaskus Al-Nuriyah, hingga kini masih
dihormati dan diziarahi.
Pengembangan masjid sebagai lembaga pendidikan
atau sekolah masjid, juga sebagai mausoleum menunjukkan pada masa Nuruddin terbangun
konsep multifungsi yang berhubungan dengan masjid di Suriah. Bahkan pada
pemerintahan selanjutnya, setelah Dinasti Ayyubiah, yaitu masa pemerintahan Mamluk, melahirkan satu
tradisi baru, yaitu menguburkan para pendiri sekolah masjid di bawah kubah
bangunan yang mereka dirikan.
Selanjutnya,
Shalahuddin Yusuf Al-Ayyubi juga mencurahkan perhatian pada bidang pendidikan
dan aristektur. Ia memperkenalkan
pendidikan Madrasah ke berbagai wilayah di bawah kekuasaannya, seperti ke
Yerusalem, Mesir dan lain-lain. Ibnu
Jubayr menyebutkan ada beberapa juga madrasah di kota Iskandariah. Di antara madrasah terkemuka dan terbesar
berada di Kairo dan memakai namanya sendiri, yaitu Madrasah al-Shalahiyah. Menurut sejarah Islam, jika Nizam
al-Mulk adalah orang yang mula-mula
mendirikan madrasah, yaitu Madarasah Nizhamiyah, maka setelah Madrasah Nizamiah
ini, madrasah terbesar adalah yang didirikan oleh Shalahuddin al- Ayyubi.
Sekarang, madrasah-madrasah tersebut tidak bisa
ditemukan lagi, namun sisa-sisa arsitekturalnya masih bisa dilihat. Pada tahun-tahun berikutnya, gaya arsitektur
ini melahirkan beberapa monument Arab yang indah di Mesir. Salah satunya yang
terindah dan menjadi model terbaik adalah Madrasah Sultan Hasan di Kairo.
Di samping mendirikan sejumlah madrasah, Shalahuddin Yusuf al-Ayyubi juga
membangun dua rumah sakit di Kairo. Bangunan kedua rumah sakit itu dirancang mengikuti model rumah sakit Nuriyah
di Damaskus, yakni selain sebagai
tempat pengobatan, sekaligus sebagai sekolah kedokteran. Salah seorang dokter
terkenal yang juga menjadi dokter pribadi Shalahuddin adalah Ibnu Maymun,
beragama Yahudi.
Pada masa Shalahuddin
Al-Ayyubi, mulai dikenal perayaan hari lahir Nabi Muhammad SAW
yang dikenal dengan Maulud
Nabi di Indonesia.
2. Bidang ekonomi dan perdagangan
Dalam hal perekonomian
pemerintahan Dinasti Ayyubiah bekerja
sama dengan penguasa muslim di wilayah lain, membangun perdagangan dengan
kota-kota di laut Tengah, lautan Hindia dan menyempurnakan sistim perpajakan.
Hubungan internasional dalam perdagangan baik jalur laut maupun jalur darat
semakin ramai dan membawa pengaruh bagi
negara Eropa dan negara-negara yang dikuasainya. Sejak saat itu dunia ekonomi
dan perdagangan sudah menggunakan sistem kredit, bank termasuk Letter
of Credit, bahkan ketika itu sudah ada mata uang yang terbuat dari emas.
Selain itu, dimulai percetakan mata uang dirham campuran (fulus). Percetakan fulus yang merupakan
mata uang dari tembaga dimulai pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Al- Kamil
ibn Al Adil Al- Ayyubi, percetakan unag fulus tersebut dimaksudkan sebagai alat
tukar terhadap barang-barang yang tidak signifikan denga rasio 48 fulus untuk
setiap dirhamnya.
Dalam bidang industri pada masa
Ayyubiah, sudah mengenal kemajuan di bidang industri dengan dibuatnya kincir
oleh seorang Syiria yang lebih canggih dibanding buatan orang Barat. Juga sudah
ada pabrik karpet, pabrik kain dan pabrik gelas.
3.
Militer dan
Sistem Pertahanan
Pada masa pemerintahan Shalahuddin, kekuatan
militernya terkenal sangat tangguh. Pasukannya diperkuat oleh pasukan Barbar,
Turki dan Afrika. Selain juga memiliki alat-alat perang, pasukan berkuda, pedang dan panah dinasti ini juga memiliki
burung elang sebagai kepala burung-burung dalam peperangan. Shalahuddin
juga membuat bangunan monumental berupa
tembok kota di Kairo dan Muqattam yaitu benteng Qal’al Jabal Sultan Salahuddin al-Ayubi atau lebih dikenal dengan
sebutan benteng Salahuddin Al-Ayubi,
yang sampai hari ini masih berdiri dengan megahnya.
Benteng ini terletak bersebelahan Bukit
Muqattam dan berhampiran dengan Medan Saiyyidah Aisyah. Ide membuat benteng ini
hasil pemikirannya sendiri yang direalisasikan
pada tahun 1183M. Shalahuddin
melihat bahwa Kota Kaherah begitu luas dan besar, dan membutuhkan sistem pertahanan benteng yang kokoh sebagaimana di Halab dan
Syria.
Salahuddin Al-Ayubi menyuruh bahan batu yang digunakan
untuk membangun pondasi benteng tersebut
diambil dari batu-batu yang
terdapat di Piramid di Giza. Benteng ini dikelilingi pagar yang tinggi dan kokoh.
Terdapat juga di dalam
kawasan benteng ini Muzium Polis, Qasrul
Jawhara (Muzium Permata) yang menyimpan perhiasan raja-raja Mesir. Terdapat
juga Mathaf al-Fan al-Islami (Muzium
Kesenian Islam) yang terletak di bab
(pintu) Khalk yang menyimpan ribuan barang yang melambangkan kesenian
Islam semenjak zaman Nabi Muhammad SAW,
termasuk diantaranya surat Rasulullah SAW untuk penguasa Mesir saat itu bernama
Maqauqis, agar beriman kepada Allah SWT.
B. SEJARAH
PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN AL-AZHAR
|
Al-Azhar didirikan oleh
seorang panglima Dinasti Fathimiyah, Jauhar Al-Katib Al-Siqli pada tahun 970 M,
atas perintah Khalifah Al-Muiz Lidinillah, sebagai tempat ibadah (masjid), tempat mengembangkan ajaran-ajaran Syi’ah dan
lambang kepemimpinan spiritual umat Islam. Sebelumnya, masjid Al-Azhar bernama
masjid Al-Qahirah atau Al-Jami’al-Qahirah, dan sekarang dikenal dengan Al-Azhar. Pembangunan dimulai pada tanggal 4 April 970 M/24 Jumadil
Ula 359 H dan selesai pada tanggal 7 Ramadhan 361 H/22 Juni 972 M, sekaligus
diresmikan sebagai tempat pelaksanaan ibadah. Peresmian itu ditandai dengan
pelaksanaan salat Jumat bersama.
Tidak dapat diketahui
dengan jelas, perubahan nama dari masjid Al-Qahirah
menjadi masjid Al-Azhar. Sebagian
para ahli, misalnya Saniyah Qura’ah berpendapat bahwa penamaan tersebut berawal
dari usulan Ya’kub Ibnu Killis, seorang wazir Khalifah al-Aziz Billah. Penamaan
yang diusulkan dinisbatkan dengan nama
istana Khalifah al-Qhusur Al-Zahirah,
atau dikaitkan dengan nama putri Nabi Muhammad Fatimah Al-Zahra. Ada pendapat
lain yang mengatakan bahwa penamaan tersebut dikaitkan dengan nama sebuah
planet (Venus) yang memiliki cahaya cemerlang. Selain itu, Al-Azhar dinisbahkan
kepada bunga, yang kemudian menjadi simbol dari ‘kemegahan’ peradaban muslim
KairoApapun latar belakang penamaan tersebut, yang
jelas menggambarkan harapan para pendirinya agar Masjid Al-Azhar membawa cahaya terang dan kejayaan umat Islam
yang dapat menyinari dunia. Harapan itu dapat disaksikan dalam perjalanan
sejarah masjid ini, fungsinya terus digandakan, tidak lagi hanya sebagai tempat
ibadah dan propaganda ajaran Syi’ah, tetapi berfungsi juga sebagai Madrasah
Tinggi di Kairo, Mesir.
Setelah Al-Azhar resmi
menjadi masjid Negara, kegiatan ilmiah pertama kali dilakukan dengan
berkumpulnya para ulama, terdiri dari para fuqaha terkenal dan pejabat
pemerintahan Fathimiyah di Al-Azhar untuk mendengarkan ceramah umum (Studium Generalle) dari Abu al-Hasan Nu’man Ibnu Muhammad
Al-Qirawaniy sebagai Qadi
al-Qudat (Hakim Agung) Dinasti
Fathimiyah), terjadi pada bulan Oktober 975 M/ Shafar 365 H.
C. AL-AZHAR
PADA MASA PEMERINTAHAN DINASTI AL-AYYUBIYAH
|
Al-Hakim Mosque
.wikipedia.org
|
Desain
Arsitektur Al-Azhar
Masjid ini memiliki pelataran
besar berbentuk persegi panjang, dikelilingi rangkaian portico.
Seperti Masjid Umayyah di Damaskus, tiang-tiang kolom masjid ini
memanfaatkan kolom-kolom kuno untuk menunjang arcade (atap lori). Arcade
tersebut memiliki banyak lengkungan.
Gaya dekoratifnya sebagian
besar mengikuti gaya Masjid Ibn Tulun. Pola ornamentasinya mengikuti gaya
Mesopotamia yang dibawa ke Mesir oleh Ibn Tulun.
Pelataran masjid berukuran 50
kali 34 meter, terdapat empat fasade
dihiasi dekorasi bermotif daun dan hiasan rosette besar
diletakkan di puncak arcade yang mengelilingi pelataran. Terdapat
balkon lapang untuk memandang ke
segala arah.
Hall di bagian dalam dengan
lima lajur menghadap ke arah kiblat. Ruangannya menerapkan pola hypostyle
dengan langit-langit kayu datar yang ditopang oleh kolom-kolom,mirip dengan
gaya Masjid Amr di Kairouan.
|
Meski ada larangan untuk
tidak menggunakan Al-Azhar sebagai pusat kegiatan madrasah, masjid
tersebut tidak sepenuhnya ditinggalkan
oleh murid-murid dan guru-guru, karena hanya sebagian dari mereka yang
meninggalkan al-Azhar. Pada masa
pemerintahan Sultan Malikul Aziz Imadudin Usman, putra Shalahudin Yusuf
al-Ayyubi, tepatnya tahun 1193 M/589 H datang seorang ulama bernama Abdul Latif al-Bagdadi dan mengajar
di Al-Azhar selama Sultan al-Malikul Aziz berkuasa. Materi yang diajarkan al-Baghdadi dimeliputi mantiq dan bayan.
Kedatangan al- Baghdadi menambah
semangat beberapa ulama yang masih menetap di al-Azhar, di antara mereka adalah
Ibn al-Farid, ahli sufi terkenal, Syeikh Abu al-Qosim al-Manfaluti, Syeikh Jama
al-Din al- Asyuyuti, Syeikh Shahabu al-Din al-Sahruri, dan Syams al-Din Ibn
Khalikan, seorang ahli sejarah yang mengarang kitab wafiyyat al-‘Ayan.
Selain mengajar mantiq dan bayan, al- Baghdadi mengajar hadits dan fiqh. Materi-materi itu diajarkan kapada para muridnya di pagi hari, sementara dari siang hingga sore hari mengajar kedokteran dan ilmu-ilmu lainnya. Ini merupakan upaya al- Baghdadi untuk memberikan informasi, sekaligus mensosialisasikan mazhab Sunni kepada masyarakat Mesir
Selama masa pemerintahan dinasti Ayyubiyah di Mesir (1171-1250 M), perkembangan aliran atau mazhab Sunni sangat pesat, termasuk model dan sistem pendidikan yang dikembangkan berorientasi Sunni. Maka dalam perjalanan sejarahnya, di masa Dinasti Ayyubiah, Al-Azhar menjadi masjid, lembaga pendidikan, sekaligus pusat pengembangan ajaran-ajaran Sunni.
Selain mengajar mantiq dan bayan, al- Baghdadi mengajar hadits dan fiqh. Materi-materi itu diajarkan kapada para muridnya di pagi hari, sementara dari siang hingga sore hari mengajar kedokteran dan ilmu-ilmu lainnya. Ini merupakan upaya al- Baghdadi untuk memberikan informasi, sekaligus mensosialisasikan mazhab Sunni kepada masyarakat Mesir
Selama masa pemerintahan dinasti Ayyubiyah di Mesir (1171-1250 M), perkembangan aliran atau mazhab Sunni sangat pesat, termasuk model dan sistem pendidikan yang dikembangkan berorientasi Sunni. Maka dalam perjalanan sejarahnya, di masa Dinasti Ayyubiah, Al-Azhar menjadi masjid, lembaga pendidikan, sekaligus pusat pengembangan ajaran-ajaran Sunni.
Para penguasa dinasti Ayyubiyah,
sebagai penguasa yang setia kepada pemerintahan khalifah Abbasiyah di Baghdad,
maka orientasi kebijaksanaan pemerintahannya adalah sebagaimana Baghdad,
bermadzhab Sunni. Oleh karena itu, salah
satu lembaga strategis yang dapat diandalkan sebagai tempat pembelajaran,
penyebaran dan pengembangan
ajaran-ajaran mazhab Suni adalah Al-Azhar.
ILMUWAN/ULAMA MUSLIM PADA MASA
AYYUBIAH
|
1.
As-Suhrawardi
al-Maqtul
Nama
lengkapnya Abu Al-Futuh Yahya bin Habash bin Amirak Shihab al-Din as-Suhrawardi
al-Kurdi, lahir pada tahun 549 H/ 1153
M di Suhraward, sebuah kampung di kawasan Jibal, Iran Barat Laut dekat Zanjan.
Ia memiliki banyak gelar diantaranya, Shaikh al-Ishraq, Master of Illuminationist,
al-Hakim, ash-Shahid, the Martyr, dan al-Maqtul.
Suhrawardi
melakukan banyak perjalanan untuk menuntut ilmu. Ia pergi ke Maragha, bdi
kawasan Azerbaijan. Di kota ini, Suhrawardi belajar filsafat, hukum dan teologi
kepada Majd Al-Din Al-Jili. Juga memperdalam filsafat kepada Fakhr
al-Din al-Mardini. Selanjutnya ke Isfahan, Iran Tengah dan belajar
logika kepada Zahir Al-Din Al-Qari. Juga mempelajari logika dari buku al-Basa’ir al-Nasiriyyah karya Umar ibn
Sahlan Al-Sawi. Dari Isfahan dilanjutkan ke Anatolia Tenggara dan diterima
dengan baik oleh pangeran Bani Saljuq. Setelah itu pengembaraan Suhrawardi
berlanjut ke Persia, pusat lahirnya tokoh-tokoh sufi. Di sini Suhrawardi
tertarik seorang sufi sekaligus filosof.
a.
Ajaran Tarekat Suhrawardi
Dalam kitab Awarif al-Ma’arif dibahas
tentang latihan rohani praktis, terdiri dari:
1) Ma’rifah, yaitu mengenal Allah melalui sifat-sifat Allah, bahwa
Allah saja-lah Wujud Hakiki dan Pelaku Mutlak.
2) Faqr, yaitu tidak memiliki harta; seorang penempuh jalan
hakikat tidak akan sampai ke tujuan, kecuali jila sudah melewati tahap
ke-zuhud-an.
3) Tawakkul, yaitu mempercayakan segala urusan kepada Pelaku
Mutlak (Allah).
4) Mahabbah, artinya
Cinta kepada Allah.
5) Fana’ dan Baqa’; Fana’ artinya akhir dari perjalanan menuju Allah,
sementara Baqa’ artinya awal dari perjalanan dalam Allah.
b.
Pemikiran Teosofis Suhrawardi
Pemikiran
teosofi Suhrawardi disebut konsep cahaya
(iluminasi, ishraqiyyah) yang lahir
sebagai perpaduan antara rasio dan intuisi. Istilah ishraqi sendiri sebagai simbol geografis mengandung makna timur
sebagai dunia cahaya. Proses iluminasi
cahaya-cahaya Suhrawardi dapat
diilustrasikan sebagai berikut: dimulai dari Nur al-Anwar yang merupakan sumber
dari segala cahaya yang ada. Ia Maha Sempurna, Mandiri, Esa, sehingga tidak ada
satupun yang menyerupai-Nya. Ia adalah Allah. Nur Al-Anwar ini hanya memancarkan sebuah cahaya yang disebut Nur
Al-Aqrab. Selain Nur Al-Aqrab tidak
ada lainnya yang muncul bersamaan dengan cahaya terdekat. Dari Nur Al-Aqrab (cahaya pertama) muncul
cahaya kedua, dari cahaya kedua muncul cahaya ketiga, dari cahaya ketiga timbul
cahaya keempat, dari cahaya keempat timbul cahaya kelima, dari cahaya kelima timbul
cahaya keenam, begitu seterusnya hingga mencapai cahaya yang jumlahnya sangat
banyak.
Pada setiap
tingkat penyinaran setiap cahaya menerima pancaran langsung dari Nur Al-Anwar, dan tiap-tiap cahaya
dominator meneruskan cahayanya ke masing-masing cahaya yang berada di bawahnya,
sehingga setiap cahaya yang berada di bawah selalu menerima pancaran dari Nur Al-Anwar secara langsung dan
pancaran dari semua cahaya yang berada di atasnya sejumlah pancaran yang
dimiliki oleh cahaya tersebut. Dengan demikian, semakin bertambah ke bawah
tingkat suatu cahaya maka semakin banyak pula ia menerima pancaran.
Karya-karya
Suhrawardi diantaranya: kitab At-Talwihat
al-Lauhiyyat al-‘Arshiyyat, Al-Muqawamat, dan Hikmah al-‘Ishraq yang
membahas aliran paripatetik; Al-Lamahat, Hayakil al-Nur, dan Risalah fi
al-‘Ishraq yang membahas filsafat
yang disusun secara singkat dengan bahasa yang mudah dipahami; Qissah al-Ghurbah al Gharbiyyah, Al-‘Aql
al-Ahmar, dan Yauman ma’a Jama’at al-Sufiyyin’ ulasan penjelasan sufistik menggunakan
lambang yang sulit dipahami dan, Risalah al-Tair dan Risalah fi al-‘Ishq
terjemahan dari filsafat klasik, dan Al-Waridat
wa al-Taqdisat berisi serangkaian do’a, dan lain-lain.
2.
Ibn Al-Adhim (588-660 H/ 1192-
1262 M)
gemuruhsepi.blogspot.com
|
Kemudian menjadi Qadhi di Allepo pada
zaman Amir Al- Aziz dan Al-Nashir dari dinasti Ayubiyah di Allepo, dan
menjadi dubes kedua penguasa ini di Baghdad dan Kairo.
Karya-karya Al-Adhim diantaranya, Zubdah al hallab min tarikh Hallaba, Bughyah
at Thalib fi Tharikh Halaba, tentang sejarah Allepo / Halaba yang
disusun secara alfabetik terdiri dari 40
juz atau 10 jilid.
Al-Adhim, melarikan diri ke Kairo hingga
wafat, ketika tentara Mongol menguasai halaba/ Allepo pada tahun 658 H / 1160
M.
3.
Al-Bushiri
Nama lengkapnya Sarafuddin Abu Abdillah Muhammad bin Abdullah
as Shanhaji al Bushiri, lahir pada tahun
1212 M di Maroko. Al-Bushiri seorang sufi besar, pengikut Thariqat Syadziliyah, dan menjadi salah satu murid Sulthonul Auliya
Syeikh Abul Hasan Asy-Syadzily, r.a.
Gurunya yang lain beberapa ulama tasawuf seperti Abu Hayyan, Abu Fath
bin Ya’mari dan Al ‘Iz bin Jama’ah al Kanani Al Hamawi.
Sejak masa kanak-kanak, dididik olek
ayahnya sendiri dalam mempelajati Al-Qur’an untuk memperdalam ilmu agama dan
kesusastraan Arab.
Al-Bushiri dikenal sebagai orang
yang wara’ (takut dosa). Pernah suatu
ketika ia akan diangkat menjadi pegawai pemerintahan kerajaan Mesir, akan
tetapi melihat perilaku pegawai kerajaan membuatnya menolak.
Al-Bushiri lebih menonjol dalam bidang sasra dengan
hasil karyanya yang terkenal yaitu Kasidah
Burdah yang diciptakannya pada abad 7 Hijrah dan dibaca dalam berbagai
acara. Kasidah Burdah adalah mutiara syair kecintaan kepada Rasulullah. Puisi Pujian Al-Bushiri kepada Nabi tidak
terbatas pada sifat dan kualitas pribadi Nabi, tetapi mengungkap kelebihan Nabi
yang utama yaitu mukjizat Al-Quran.
Beberapa ulama sufi yang menjadi
guru Al-Bushiri, diantaranya, terutama pada bidang Imam Abu Hayyan, Abul Fath
bin Sayyidunnas Al-Ya’mari Al Asybali Al Misri
pengarang kitab ‘Uyunul Atsar fi
Sirah Sayyidil Basyar, Al ‘Iz bin
Jama’ah Al Kanani Al Hamawi salah seorang hakim di Mesir, dan masih banyak
lagi kalangan ulama besar Mesir yang memberikan ilmu pengetahuannya kepada
Al-Bushiri.
Al Bushiri sebenamya tak hanya,
terkenal dengan karya Burdahnya saja. la juga dikenal sebagai seorang ahli
fikih, ilmu kalam dan ahli tasawuf.
4.
Abdul Latief Al Baghdadi
Seorang ulama berpengaruh yang
menginspirasi ulama-ulama Al-Azhar lainnya, ahli ilmu mantiq, bayan, Hadist, fiqh, ilmu kedokteran, dan ilmu-ilmu
lainya, sekaligus sebagai tokoh berpengaruh dalam pengembangan dan penyebaran
madzhab Sunni di Mesir.
5.
Abu Abdullah Al Quda’i
Ahli fiqih, hadis dan sejarah, beberapa
karyanya adalah Asy Syihab (Bintang),
Sanadus Sihah (Perawi Hadis-Hadis
Sahih), Manaqib al Imam Asy Syafi’i
(Budi Pekerti Imam Syafi’i), Anba’ Al
Anbiya’ (Cerita Para Nabi), ‘Uyun al
Ma‘arif (Mata Air Ilmu Pengetahuan), Al
Mukhtar fiz Zikir al Khutat wa Al Asar (Buku Sejarah Mesir).
6.
Abu Abdullah
Muhammad Al-Idrisi
Seorang ahli geografi dan juga ahli botani yang
mencatat penelitiannya dalam buku Kitab
Al-Jami’ li Asytat an-Nabat (Kitab kumpulan dan Tanaman).
7.
Ad-Dawudi
Seorang ahli botani,
pengarang kitab Nuzhah an-Nufus wa
al- Afkar Ma’rifah wa al-Ahjar wa al-Asyjar (kitab komprehensif tentang Identifikasi
Tanaman, Bebatuan, dan Pepohonan).
8.
Syeikh Syams al-Din Ibn Khalikan
Seorang ahli sejarah yang mengarang
kitab wafiyyat al-‘Ayan
9.
Syeikh Abu al-Qosim al-Manfaluti
Seorang
ahli fiqih.
10.
Al Hufi, ahli bahasa,
11.
Abu Abdullah Muhammad bin Barakat,
Seorang
ahli Nahwu dan ahli tafsir.